A. Pendahuluan
Perlawanan Bangsa Indonesia melawan bangsa asing sudah
dimulai sebelum tahun 1800. Perlawanan tersebut dimulai ketika Portugis
memasuki Indonesia tepatnya di Ternate. Lama kelamaan semakin Portugis memasuki
daerah – daerah lain di Indonesia. Berbagai perlawananpun tak terelakan.
Beberapa perlawanan berubah menjadi perang. Ada banyak perang perlawanan yang
terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Perang Aceh yaitu perang melawan
Belanda. Berikut pengenalannya:
Perang Aceh merupakan salah satu perang terbesar yang pernah
dilakukan oleh Belanda. Perang ini adalah perang antara Kesultanan Aceh dengan
Belanda. Perang yang berlangsung selama 4 periode ini dimulai pada 1873 hingga
1904.Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan
perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan
Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873,
Belanda mendarat di Pantai
Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman. Köhler saat itu
membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
B. Latar Belakang
Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat
perdagangan karena banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh
karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh
tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Ketika Belanda dan Inggris sepakat
membawa masalah Aceh ke meja perundingan, dengan hasil perjanjian yang dikenal
dengan Traktat London ( Treaty of London / 1824 ).
Sejak saat itulah Belanda punya kekuasaan di Aceh, namun ia kurang leluasa
karena salah satu isi dari Traktat London menyebutkan agar Belanda
menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Maka untuk lebih leluasa lagi dalam
menjalankan praktek kolonialnya Belanda mengajak Inggris ke meja perundingan
sekali lagi. Ternyata usaha Belanda itu berhasil, kemudian hasil perundingan
adalah Traktat Sumatra.
Dalam perjanjian itu Belanda diperbolehkan meluaskan
kekuasaan di Aceh. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan
sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat
Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2
November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan
bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh.
Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan
ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni
mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika
Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda
karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan
ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret
1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.
Perang
Aceh disebabkan karena:
- Belanda
menduduki daerah Siak.
Akibat dari Perjanjian
Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat,Asahan dan Serdang kepada
Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
- Belanda
melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh
menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang
lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini
didukung Britania.
- Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de
Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu
lintas perdagangan.
- Ditandatanganinya Perjanjian
London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda
harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka.
Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya
di Guyana Barat kepada Britania.
- Akibat
perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan
Konsul Amerika
Serikat, Kerajaan
Italia,Kesultanan
Usmaniyah di Singapura.
Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada
tahun 1871.
- Akibat
hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura,
Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden
Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh
dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah
dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan
keterangan.
C. Periode Perang
Perang Aceh
Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima
Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler.Köhler dengan
3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler
sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat
merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok
pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk,
Lampu'uk, Peukan Bada,
sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom,
Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh
Kedua (1874-1880), di bawah Jend. Jan van
Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874,
dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874
Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan
Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku
Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan
frontal, dimana pemerintah
masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala
Dalam, Indrapuri,
dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896),
perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah.
Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama
Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika
terjadiserangan
mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak
Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang
gerilya.
Perang keempat (1896-1910)
adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan,
penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
D. Snouck Hugronje
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda
memakai tenaga ahli Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh
untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu
dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam
buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer
Belanda Joannes
Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu
Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.
Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan
tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan
cara mendirikan langgar, masjid,
memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz
yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck
Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya. Laporan-laporan Snouck Hurgronje
membuat pasukan Van Heutsz lebih percaya diri. Mereka jadi tahu seluk-beluk
geografi setempat, adat istiadat masyarakat, serta soal ajaran agama yang
dianut oleh "raja-raja biadab" (ces princes sauvages) tersebut. Pada
1898, kapal-kapal perang Belanda kembali membuka layar menuju Pulau Sumatera.
Sayang, rasa percaya diri yang tinggi dan pengetahuan memadai tak cukup untuk
menaklukkan Aceh.
Banyak korban jatuh di pihak Belanda. Selama setengah abad
bertarung dengan Aceh, lebih dari 100 ribu orang mati dan 500 juta gulden
terbuang percuma. Pers di Batavia pun turut mencibiri kegagalan itu. Mengapa
duet Van Heutsz-Snouck tak berjaya? Seorang mantan Gubernur Aceh bekas opsir
militer, C. Deykerhoff, pernah menulis keraguan atas strategi yang dikembangkan
Snouck.
"Andaikata Dr. Snouck Hurgronje mengenal watak para
gerilyawan... (yang) sangat mengenal medan dan jarang sekali memberi kita
kesempatan memukulnya," tulisnya, "Memukul gerilyawan, sedapat
mungkin dengan menghindarkan terlibatnya penduduk walaupun ada di antaranya
yang bersikap ragu-ragu, seperti yang diinginkan oleh Dr. Snouck Hurgronje,
adalah khayal belaka."
Paul van 't Veer mengungkap pula nama R.A. Kern, pejabat
penasihat untuk urusan bumi putra dan golongan Arab, yang juga mengkritik
kebijakan Snouck. Kern mengatakan, Snouck keliru karena strateginya justru
memperkukuh kekuasaan kaum uleebalang untuk melawan kaum ulama fanatik. Snouck
berpikir, dengan menguasai kaum ulama, Belanda bisa menguasai Aceh-tapi yang
terjadi justru sebaliknya.
Namun Snouck tak selamanya kalah. Dalam pertarungan di Tanah
Gayo dan Alas, ia membuktikan bahwa hasil studi ilmiahnya bisa dipakai untuk
kepentingan militer Belanda. Pada 8 Februari-23 Juli 1914, di bawah pimpinan
Letkol G.C.E. van Daalen, pasukan Belanda mencoba menaklukkan Tanah Gayo dan
Alas. Untuk ekspedisi ini, Gubernur Van Heutsz memilih sejumlah perwira dan
brigade terbaiknya. Pertempuran hebat terjadi dan banyak jatuh korban dari
kalangan orang Gayo. Sebanyak 2.902 orang tewas-1.159 di antaranya perempuan
dan anak-anak. Belanda kehilangan 26 serdadu, yang mati, dan 70-an terluka.
Keterangan :
Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:
1. Belanda
harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu,
Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
2. Untuk
menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
3. Setelah
nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus
meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
E. Taktik Perang
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang
dipimpin oleh Hans
Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang
telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh
untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara
penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik
permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902).
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku
Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 keSigli dan
berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima
Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap
putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara
perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim
meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada
Desember 1903.
Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah
mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan
dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried
Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922
orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak
Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara
gerilya, dimana akhirnya
Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
F. Berakhirnya Perang
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan
surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang
harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan
menyerah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat
Pendek yang isinya sebagai berikut.
1. Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2. Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain
dengan belanda.
3. Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada
di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan
perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin
setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai
Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan
terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini
berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah
baru yakni Jepang (Nippon).
G. Kesimpulan
Kesimpulan dari Perang Aceh :
- Perang Aceh menjadi Perang terlama di Indonesia dan perang
terbesar yang dilakukan Belanda
- Rakyat Aceh yang mau berjuang dan pantang menyerah membela
daerahnya.
- Rakyat Aceh mampu melawan Belanda walau melalui beberapa Perang
terlebih dahulu
- Traktat Pendek tidak mampu membuat rakyat Aceh diam dan menyerah
pada Belanda
H. Daftar Pustaka
Badrika, I Wayan. 2006.Sejarah untuk SMA
Jilid 2 Kelas XI Program Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga
id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
http://www.scribd.com/doc/55360015/MAKALAH
Google.co.id
Actuate Corporate Training | Online Training by real time Experts with IT Support IND: 910-0934572. Online Training classes gives you complete knowledge by 21st Century. send ur enquiry to contact@21cssindia.com. or Call +917386622889 http://www.21cssindia.com/actuate-training Actuate Training| USA:201-210-8616|Online/Corporate training|21cssindia
ReplyDelete