July 11, 2015

Perang Aceh


A. Pendahuluan

Perlawanan Bangsa Indonesia melawan bangsa asing sudah dimulai sebelum tahun 1800. Perlawanan tersebut dimulai ketika Portugis memasuki Indonesia tepatnya di Ternate. Lama kelamaan semakin Portugis memasuki daerah – daerah lain di Indonesia. Berbagai perlawananpun tak terelakan. Beberapa perlawanan berubah menjadi perang. Ada banyak perang perlawanan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Perang Aceh yaitu perang melawan Belanda. Berikut pengenalannya:
Perang Aceh merupakan salah satu perang terbesar yang pernah dilakukan oleh Belanda. Perang ini adalah perang antara Kesultanan Aceh dengan Belanda. Perang yang berlangsung selama 4 periode ini dimulai pada 1873 hingga 1904.Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. 
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya BaiturrahmanKöhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.

B. Latar Belakang

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan karena banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Ketika Belanda dan Inggris sepakat membawa masalah Aceh ke meja perundingan, dengan hasil perjanjian yang dikenal dengan Traktat London ( Treaty of London / 1824 ). Sejak saat itulah Belanda punya kekuasaan di Aceh, namun ia kurang leluasa karena salah satu isi dari Traktat London  menyebutkan agar Belanda menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Maka untuk lebih leluasa lagi dalam menjalankan praktek kolonialnya Belanda mengajak Inggris ke meja perundingan sekali lagi. Ternyata usaha Belanda itu berhasil, kemudian hasil perundingan adalah Traktat Sumatra. 
Dalam perjanjian itu Belanda diperbolehkan meluaskan kekuasaan di Aceh. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. 
Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.

Perang Aceh disebabkan karena:
-       Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah DeliLangkat,Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
-       Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
-       Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
-       Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
-       Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
-       Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika SerikatKerajaan Italia,Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
-       Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

C. Periode Perang

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler.Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
 Perang Aceh Kedua (1874-1880), di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadiserangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

D. Snouck Hugronje

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgarmasjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya. Laporan-laporan Snouck Hurgronje membuat pasukan Van Heutsz lebih percaya diri. Mereka jadi tahu seluk-beluk geografi setempat, adat istiadat masyarakat, serta soal ajaran agama yang dianut oleh "raja-raja biadab" (ces princes sauvages) tersebut. Pada 1898, kapal-kapal perang Belanda kembali membuka layar menuju Pulau Sumatera. Sayang, rasa percaya diri yang tinggi dan pengetahuan memadai tak cukup untuk menaklukkan Aceh.
Banyak korban jatuh di pihak Belanda. Selama setengah abad bertarung dengan Aceh, lebih dari 100 ribu orang mati dan 500 juta gulden terbuang percuma. Pers di Batavia pun turut mencibiri kegagalan itu. Mengapa duet Van Heutsz-Snouck tak berjaya? Seorang mantan Gubernur Aceh bekas opsir militer, C. Deykerhoff, pernah menulis keraguan atas strategi yang dikembangkan Snouck.
"Andaikata Dr. Snouck Hurgronje mengenal watak para gerilyawan... (yang) sangat mengenal medan dan jarang sekali memberi kita kesempatan memukulnya," tulisnya, "Memukul gerilyawan, sedapat mungkin dengan menghindarkan terlibatnya penduduk walaupun ada di antaranya yang bersikap ragu-ragu, seperti yang diinginkan oleh Dr. Snouck Hurgronje, adalah khayal belaka."
Paul van 't Veer mengungkap pula nama R.A. Kern, pejabat penasihat untuk urusan bumi putra dan golongan Arab, yang juga mengkritik kebijakan Snouck. Kern mengatakan, Snouck keliru karena strateginya justru memperkukuh kekuasaan kaum uleebalang untuk melawan kaum ulama fanatik. Snouck berpikir, dengan menguasai kaum ulama, Belanda bisa menguasai Aceh-tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Namun Snouck tak selamanya kalah. Dalam pertarungan di Tanah Gayo dan Alas, ia membuktikan bahwa hasil studi ilmiahnya bisa dipakai untuk kepentingan militer Belanda. Pada 8 Februari-23 Juli 1914, di bawah pimpinan Letkol G.C.E. van Daalen, pasukan Belanda mencoba menaklukkan Tanah Gayo dan Alas. Untuk ekspedisi ini, Gubernur Van Heutsz memilih sejumlah perwira dan brigade terbaiknya. Pertempuran hebat terjadi dan banyak jatuh korban dari kalangan orang Gayo. Sebanyak 2.902 orang tewas-1.159 di antaranya perempuan dan anak-anak. Belanda kehilangan 26 serdadu, yang mati, dan 70-an terluka.
Keterangan :
Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:
1.     Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu, Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
2.    Untuk menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
3.    Setelah nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

E. Taktik Perang

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 keSigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

F. Berakhirnya Perang

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
1.     Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2.    Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3.    Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat. 
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

G. Kesimpulan

Kesimpulan dari Perang Aceh :
-       Perang Aceh menjadi Perang terlama di Indonesia dan perang terbesar yang dilakukan Belanda
-       Rakyat Aceh yang mau berjuang dan pantang menyerah membela daerahnya.
-       Rakyat Aceh mampu melawan Belanda walau melalui beberapa Perang terlebih dahulu
-       Traktat Pendek tidak mampu membuat rakyat Aceh diam dan menyerah pada Belanda

H. Daftar Pustaka

Badrika, I Wayan. 2006.Sejarah untuk SMA Jilid 2 Kelas XI Program Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga
id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
http://www.scribd.com/doc/55360015/MAKALAH
Google.co.id