A. Pendahuluan
Pemerintahan masa Soeharto yang lebih dikenal dengan masa orde baru. Orde Baru berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998.
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur Administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih
dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan Aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD
juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang
berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian Barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia terutama
dari komunitas pengobatan china tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan
bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china indonesia bejanji
tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan bagi Ikatan
Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus nya pada waktu itu
memperjuangkan hal ini demi masyarakat china indonesia dan kesehatan rakyat
indonesia. Hingga china indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam menggunakan
bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang china indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga
Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan
politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena
khawatir akan keselamatan dirinya.
B. Kelebihan
·
perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000
·
sukses
transmigrasi
·
sukses
KB
·
sukses
memerangi buta huruf
·
sukses
swasembada pangan
·
pengangguran
minimum
·
sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sehingga Pembangunan di Indonesia maju
·
sukses
Gerakan Wajib Belajar
·
sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·
sukses
keamanan dalam negeri karena mengutamakan kestabilan dan keamanan bangsa
·
Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia
·
sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
·
Politik
Luar Negeri nya hebat sehingga Indonesia dikenal sebagai macan asia tenggara
·
cinta
bahasa indonesia dan jawa ( tetap menggunakan bahasa indonesia setiap bertemu
pemimpin negara lain ---- penggunaan akhiran ken dalam setiap kalimat akhiran
kan )
·
sensor
media sangat ketat, sehingga tidak pernah terliat wanita setengah telanjang di
televisi
C. Kekurangan / Kelemahan
·
semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·
pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
·
munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·
kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
·
bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)
·
kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan
majalah yang dibreidel
·
penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain
dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
·
tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)
·
Ekonomi makro rapuh karena banyak subsidi dari hutang luar
negeri, untuk membuat stabilitas politik
·
Tidak ada demokrasi
D. Akhir Pemerintahan
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis
keuangan dan ekonomi Asia, disertai
kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, Inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah
MPR melantiknya untuk masa Bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998
dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan
"Era Reformasi".
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru
di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
REPELITA
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya
perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi
ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan
menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai
yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a. REPELITA I
(1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1969.
Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b. REPELITA II
(1974-1979)
Target pertumbuhan
ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector
pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan
merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku.
c. REPELITA III
(1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang
dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta
peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d. REPELITA IV
(1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan
usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian
pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
e. REPELITA V
(1989-1994)
Menekankan bidang transportasi, komunikasi dan
pendidikan.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi
menurut REPELITA adalah mengacu pada sector pertanian menuju swasembada pangan
yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
E. Latar Belakang
Soeharto
Jend.
Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto)
(lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal
di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden
Indonesia yang kedua (1967-1998),
menggantikan Soekarno. Di dunia
internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto
sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General"
(bahasa
Indonesia: "Sang
Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap
acara resmi kenegaraan.
Sebelum
menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang
dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan
30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk
menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto
kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden
pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan
diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan
Mei 1998 dan pendudukan
gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai
presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan
Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang
disebut Orde Baru, Soeharto
membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.
Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan
dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15
miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena
kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
F.
Profil Soeharto
1)
Keluarga
Pada saat itu
keluarga Prawirowihardjo, orang tua angkatnya mengutus Mbok Bongkek sebagai
pembawa pesan lamaran disertai foto Soeharto yang ketika itu berusia sekitar 26
tahun. Akhirnya, ia resmi menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah
seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti
Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember
1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam
putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit
Harjojudanto,
Bambang
Trihatmodjo,
Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
2)
Awal Hidup dan Pendidikan
Pada
8 Juni 1921, Sukirah
melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa
Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin
bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh
ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki
itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah
yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan
Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama
setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai
tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum
genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan
tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri
dan berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo
menggendong Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan
itu tidak pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando
pada kerbau saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi
pemimpin. Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika
semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari
ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah.
Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah
ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke
Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro,
Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan
seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra
paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto
kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga
mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran
bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan
pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian.
Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya.
Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di
kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng
Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat
Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke
sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal
di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan
pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo,
tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena
sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat
tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya,
Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya
boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat
SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa
daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi
ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal.
Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai
pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia
minta berhenti.
Suatu
hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk
Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia
mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat
bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada
Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah,
karier militernya dimulai.
3) Karier Militer
Pada
1 Juni 1940, ia diterima
sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar,
ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral.
Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi
menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia
bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942,
ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas
Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL,
dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer
yang disponsori Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA,
komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan
kolonel.
Setelah
Perang
Kemerdekaan
berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat
letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan
pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan
APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang
bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada
usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat
menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret
1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat
menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang.
Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium
IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Ia
dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa
pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat
ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari
perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer
oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C
SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi
brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia
diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada
1 Oktober 1961, jabatan rangkap
sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah
diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai
Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga
mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman).
Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi
Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi
Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur,
Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar
ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Sekitar
setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir
Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian
Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat
dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.
Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
pada 1 Mei 1963, ia membentuk
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi
G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari
kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto
diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar
untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku
G-30-S/PKI.
4) Sebagai
Presiden
Roma,
Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut
menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke
perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu.
Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor besar terbesar
di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya.
Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani
untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika
pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa
dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena
itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali
emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik
atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar
pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan
Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras
minimal 2 juta ton.
Sebab
itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR
yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali
lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam
pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto
mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan
tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas
Soeharto.
Dia
dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang
kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal
PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang
tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika
berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN,
dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga
diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan
menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar
Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut
Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam
bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto
adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika
Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi,
Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak
berambisi menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya
di rumah, di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya
secara kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini
sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari
Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22
Desember 1989.
Sebab
itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika
Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari
Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya
pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam
kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan
jika dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994).
Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr
Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan
(6 Desember 1995).
Soeharto
yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan
menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31
tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya
kembali sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah
istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru.
Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan
kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode
1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar
saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada
25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Dua hari kemudian terjadi kerusuhan 27 Juli berdarah.
5) Puncak Orde
Baru
Pada
masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai
pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli
ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung
bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan
liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi
sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan
Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan
dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI
yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan
oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam
negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor
CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari
lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF,
UNESCO dan WHO. Namun
sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle
down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat
Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi
itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga
Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di
bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai
politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam
upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari
politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang
berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya
pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila
yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi
ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas
tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol
lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul,
namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring
dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan
ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan
ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik
memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa
pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya
sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
6) Catatan atas
represif Orde Baru
Presiden
Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai
material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati
mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang
akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada
1970
Soeharto melarang protes pelajar setelah
demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat
umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut.
Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia
memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media.
Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam
anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama
lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur
Islam.
Pada
1973
dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral
college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983,
1988,
1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu
semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara
partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada
1975,
dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk
memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di
masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan
Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian
pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur
menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB
pada 1999.
Korupsi menjadi
beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980
sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar.
Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa.
Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya.
Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara
satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga
semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi
HAM PBB
membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996
Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah
satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas
besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah
di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
7)
Kejatuhan Soeharto
Pada 1997,
menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan
Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang
sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia
dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan
mendetail dari IMF.
Meskipun sempat
menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003,
terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih
kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret
1998.
Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta
berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998
untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam
pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Di Credentials
Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto
membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
“
|
Sejak beberapa
waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi
nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang
mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi
terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan
nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan
mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga
hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena
tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite
tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi,
saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka
perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya
untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan
baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan
secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan
fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti
dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan
ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di
hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada
kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI,
Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama
saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan
minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa
Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para
menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan
untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk
menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara,
kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan
presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
|
”
|
Sesaat kemudian, Presiden
Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie.
Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan
presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto,
pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang
turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang
terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang
berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik
permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan
konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang
tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai
dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan
tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat
mengancam keutuhan bangsa.
Keempat,
menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga
keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak
Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap
tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan
merugikan masyarakat sendiri.
8)
Kasus Dugaan Korupsi
Setelah
Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen
masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan
presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya
indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa
dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa
Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana
(Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP)
mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai
tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto
yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada
3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie
menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung
di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil
nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time
melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15
miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei
1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib
untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah
Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah
Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada
pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto
memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan
Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau
para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana
Mandiri.
Hasil
penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli,
berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut
Transparency International, Soeharto
menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain
dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa
pemerintahannya.[4]
9)
Peninggalan Soeharto
Bidang politik
Sebagai
presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
memengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno,
Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga
dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste
Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana
bila dibiarkan merdeka.[Mei
2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan
ribu korban jiwa sipil.[Mei
2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa
pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya
menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut
secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau
"Asal Bapak Senang".
Bidang kesehatan
Untuk
mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang
menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan
hidup.
Bidang pendidikan
Dalam
bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib
Belajar
yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia.
Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga
miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib
Belajar 9 tahun.
10) Kematian
Soeharto
Komisaris
Dicky Sondani yang datang ke RSPP sekitar pukul 12.30 WIB terlihat
mondar-mandir. Sebentar masuk ke dalam rumah sakit, kemudian keluar lagi.
Awalnya, puluhan wartawan yang berjaga tidak menghiraukan kehadiran Kapolres
Kebayoran Baru, Jakarta tersebut. Para wartawan menganggap bahwa Dicky sedang
berjaga-jaga untuk menanti kehadiran pejabat negara. Rasa penasaran wartawan
memuncak saat polisi dan tentara semakin banyak yang datang dan Dicky masih
mondar-mandir. Ketika Dicky keluar lobi utama, dia berdiri pas di depan pintu,
wartawan sepakat bertanya ada apa dengan pengamanan yang ketat itu. Dicky
berada di tengah kerumunan wartawan dan kamera televisi mengarah ke wajahnya.
Tepat
pukul 13.20 WIB, Dicky mengatakan, ”Telah berpulang ke Rahmatullah, Haji
Muhammad Soeharto pukul 13.10 WIB. Rencananya akan dibawa ke Cendana, tetapi
belum tahu pukul berapa.” Berulang kali Dicky harus mengulang kalimat itu
karena banyak kameramen dan reporter radio yang belum merekam suaranya. Bahkan,
ada yang meminta Dicky bersuara hanya untuk mengatakan jam berapa Soeharto
meninggal. Semua orang membutuhkan suara Dicky yang menjadi pemberi informasi
pertama untuk publik.
Jenazah
mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana,
Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIBmenuju Bandara Halim
Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari
Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian
dimakamkan di Astana
Giri Bangun,
Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana
Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang
lahad pada pukul 12.15 WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur.
Almarhum sudah berada di liang lahad siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara
pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono
11) Soeharto vs
SBY
Ada
survey yang menyatakan bahwa hidup di zaman Soeharto lebih baik ketimbang di
zaman SBY. Tentu saja kubu SBY menyatakan itu tidak benar. Di zaman SBY, pers
bebas, orang juga bebas melakukan demo. Sedang di zaman Soeharto, pers yang
kritis dibreidel, dan sulit untuk berdemo.
Tapi
di sisi lain, pers bebas akhirnya melahirkan juga penyakit pornografi. Kemudian
orang memang bebas demo, namun pemerintah dan DPR nyaris tidak mendengar
aspirasi rakyat. Harga-harga barang terus naik menjulang tinggi.
Zaman
Soeharto biaya sekolah SMA dan PTN begitu murah. Orang miskin bisa kuliah.
Sedang di zaman SBY biaya masuk UI Rp 25 juta dan SPP/semester Rp 7,5 juta.
Orang miskin sulit masuk UI dan PTN lainnya. Jangankan kuliah, biaya SMA saja
mahal.
ITEM
|
SBY
|
SOEHARTO
|
HARGA BENSIN
|
Rp 9000/liter
|
Rp 1400/liter
|
Uang Masuk UI/PTN
|
Rp25.000.000
|
Rp200.000
|
SPP/Semester di PTN
|
Rp7.500.000
|
Rp200.000
|
Uang Masuk SMA
|
Rp7.000.000
|
Rp1.000.000
|
Ekonomi
|
Tergantung Investor Asing
|
Pembangunan BUMN
|
BUMN
|
Penjualan BUMN
|
Pembangunan BUMN (Indosat, Telkom,
IPTN)
|
TRANSMIGRASI
|
Nyaris tak ada
|
Pembagian lahan u/ Petani
|
Pembangunan
|
Tol Cipularang
|
TMII
|
|
|
Tol Jagorawi, Sedyatmo
|
|
|
Tol DalamKota, Tol Merak
|
|
|
UI Depok
|
|
|
Bandara Cengkareng
|
Penculikan
|
Penculikan anak sering terjadi
|
Jarang ada penculikan
|
Harga Barang
|
Harga mahal
|
Harga murah
|
HutangIndonesia
|
Rp 1700 trilyun (Rp 260 trilyun
dalam 7 tahun)
|
Rp 1440 trilyun dalam 32 tahun
|
Saya
coba muat prestasi kedua pemimpin tersebut. Kita harap yang baik ditingkatkan,
yang buruk ditinggalkan.
G. Daftar Pustaka